SURABAYA, KOMPAS.com - Tanggal 30 November menjadi hari spesial bagi Persebaya Surabaya.
Pada hari ini 3 tahun lalu adalah hari pertama mereka berpikir, bertindak, dan bernapas layaknya klub kasta tertinggi sepak bola Indonesia.
Marwah yang sempat hilang karena drama dualisme yang berujung pada klub yang mati suri.
Musim 2009/2010 menjadi awal keterpurukan tim berjuluk Bajul Ijo tersebut.
Persebaya Surabaya merasa tidak puas karena keputusan kontroversi yang berujung pada degradasi karena memutuskan untuk hijrah ke Liga Premier Indonesia pada musim 2010/2011.
Kepindahan tersebut mematik masalah yang lebih pelik. Menjadikan Persebaya Surabaya berada di titik terendahnya selama kurang lebih 6 tahun.
Baca juga: Gaji Skuad Persebaya Berpotensi Dipotong di Bawah 25 Persen
Tak mau tinggal diam tim kebanggannya terjebak dalam kubangan lumpur, Bonek selaku pendukung fanatik pasang badan.
Sebagai garda terdepan pembela Bajul Ijo, Bonek bergerak serempak melakukan upaya-upaya yang menghidupkan sang Bajul Ijo yang sedang mati suri.
Akhirnya pada 8 Januari 2017 upaya yang dilakukan Bonek membuahkan hasil.
Persebaya Surabaya kembali diakui sebagai anggota PSSI, namun mereka harus berkompetisi di Liga 2 2017.
Kesempatan tersebut menjadi titik balik bagi Persebaya Surabaya. Dengan mayoritas pemain semenjana, Persebaya Surabaya berhasil merengkuh gelar pertamanya yakni Piala Dirgantara 2017.
Perjalanan terus berlanjut. Di bawah asuhan pelatih Angel Alfredo Vera, Persebaya Surabaya mampu tampil meyakinkan di babak penyisihan grup.
Persebaya Surabaya berhasil lolos ke babak 16 besar sebagai juara grup.
Di Babak 16 besar Persebaya Surabaya benar-benar di uji saat tergabung di grup C bersama Kalteng Putra, Semeru FC dan PSBS Biak.
Bonek sempat dibuat was-was karena Persebaya Surabaya mengantongi 3 hasil seri dari enam pertandingan.