BANDUNG, KOMPAS.com - Persib Bandung mencatat kemenangan perdana pada putaran kedua Liga 1 dengan menumbangkan PS TNI 3-1, Sabtu (6/8/2017) malam.
Kemenangan itu cukup spesial mengingat Persib baru saja "hijrah" ke Stadion Si Jalak Harupat (SJH).
Manajer Persib, Umuh Muchtar, menilai, SJH mempunyai aura positif bagi Persib. Sebab itu, dia mengaku lebih nyaman jika Persib berlaga di SJH.
"Alhamdulillah di sini memang Jalak Harupat membawa tempat yang menguntungkan, ada hokinya," ucap Umuh seusai pertandingan.
Di putaran pertama, Persib menjadikan Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) sebagai markas. Di GBLA, Persib mencatat hasil kurang memuaskan.
Baca juga: Cetak Dua Gol, Maitimo Utamakan Kemenangan bagi Persib
Kendati tak pernah kalah, di GBLA, Persib hanya mencatat empat kali kemenangan dan empat kali seri dari delapan laga yang dimainkan.
"Saya harapkan Persib bermain di sini terus," kata Umuh.
Keputusan manajemen Persib untuk kembali menggunakan SJH bukan semata mencari keberuntungan.
Faktor keamanan menjadi alasan utama penggunaan SJH. Sebab, selama Persib bermain di GBLA, banyak sekali laporan masalah keamanan.
"Ini kondusif, semua tenang. Saya sangat setuju main di sini, di sini lebih kondusif dan mudah-mudahan tidak banyak yang kehilangan motor," ungkap Umuh.
Namun, sayang, kenyamanan SJH tercoreng dengan hadirnya para juru parkir liar. Persoalan tata kelola parkir di area stadion masih menjadi masalah klasik.
Sama halnya seperti yang terjadi di GBLA, keberadaan pungutan parkir liar juga tampak di SJH. Pungutan parkir itu dilakukan oleh sejumlah oknum warga di pintu masuk sebelah utara stadion.
Para juru parkir itu mematok harga Rp 10.000 bagi pengguna sepeda motor. Kondisi itu pun dikeluhkan para penonton, salah satunya Rizal.
Rizal mengatakan, para juru parkir mengatasnamakan warga Desa Kopo, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung. Hal itu terlihat dari karcis parkir berwarna merah muda yang ia dapat.
"Dalam karcis itu tertera, mereka memakai landasan Perdes No 03 Tahun 2007 harga Rp 1.700 dan Perda No 05 Tahun 2002 Rp 300. Namun, di bawahnya muncul angka Rp 10.000. Itu dari mana asal-usulnya. Dulu mah paling Rp 3.000," ucap Rizal saat ditemui di area stadion.
"Mereka juga tidak menjamin soal keamanan kendaraan kita. Ini bentuk premanisme baru. Saya harap pemerintah dan aparat setempat menindak tegas," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.