Lihatlah apa yang terjadi dalam kompetisi Divisi Utama sepak bola negeri ini. Berita-berita dari kompetisi itu lebih banyak bukan lagi persoalan sepak bola, melainkan tentang kerusuhan, ketakutan pemain yang bertandang, skandal pengaturan skor, dan kepemihakan wasit kepada tuan rumah.
Teranyar, contoh masalah itu bisa dilihat dari hasil laga terakhir Grup N Divisi Utama antara tuan rumah, PSS Sleman melawan PSIS Semarang di Stadion Sasana Krida, Minggu (26/10/2014). PSS menang 3-2 atas PSIS. Tetapi, kelima gol dalam pertandingan tersebut berasal dari gol bunuh diri!
Jika menggunakan akal sehat, dapatkah dibayangkan bagaimana bisa seorang pesepak bola menceploskan bola ke gawang sendiri lalu tampak berlari kegirangan sembari melakukan selebrasi. Bagaimana bisa pula gol-gol bunuh diri yang tercipta dirayakan oleh suporter timnya sendiri?
Bisa dibayangkan juga motif apa yang membuat para pemain kedua tim melakukan hal menjijikkan tersebut? Apakah mereka ingin menghindari tim-tim hebat dari Eropa? Atau apakah mereka sudah tahu bakal menerima "bencana" jika melawan calon lawannya di pertandingan semifinal nanti?
Belum lagi, peristiwa itu pun terjadi sepekan setelah laga Divisi Utama lainnya antara Persis Solo dan Martapura FC di Stadion Mahanan Solo, Rabu (22/10/2014), berakhir ricuh. Tidak hanya ricuh, laga itu akhirnya memakan korban jiwa setelah satu orang suporter ditemukan tewas seusai pertandingan.
Cerminan
Itulah cerminan sepak bola Indonesia. Bukan sportivitas atau kejutan-kejutan untuk meraih prestasi membanggakan, melainkan kekerasan dan kecuranganlah yang kerap menguasainya di lapangan.
Toh, ini bukan kali pertama, "sepak bola gajah" terjadi di dunia sepak bola Indonesia. Dan bukan kali pertama juga, anak-anak negeri tewas mengenaskan akibat pertikaian-pertikaian dalam sepak bola di dalam negeri.
Pada Januari 1988, Persebaya takluk 0-12 dari Persipura Jayapura di Stadion Gelora 10 Nopember. Persebaya dikabarkan "sepakat" untuk kalah dengan skor telak seperti itu agar PSIS Semarang tersingkir karena kalah selisih gol dari Persipura.
Tidak hanya di level klub, mantan bek timnas Indonesia, Mursyid Effendi, juga pernah mencetak gol bunuh diri saat menghadapi Thailand agar Indonesia tidak bertemu dengan Vietnam di ajang Piala Tiger 1998. Akhirnya, Effendi menerima sanksi larangan tampil seumur hidup di pertandingan internasional dari FIFA.
Untuk masalah kerusuhan antarsuporter, pada 2013 sempat terjadi insiden jauh lebih mengerikan. Lihat saja insiden empat suporter tewas hanya dalam sepekan seusai menyaksikan pertandingan Persija Jakarta melawan Persib Bandung pada 27 Mei dan Persebaya 1927 kontra Persija Jakarta pada 3 Juni.
Kenapa?
Atas berbagai fakta-fakta mengerikan itu, rasanya masyarakat Indonesia sudah bosan jika terus-terusan mengumpati PSSI. Sudah bosan pula kita menyerukan PSSI untuk membenahi karut marutnya kompetisi sepak bola di negeri ini. Mengapa bosan? Karena masalah itu masih terus terjadi.
Lantas, apa yang salah sehingga kekerasan dan kecurangan seperti itu terus terjadi di lapangan sepak bola? Daripada terus-terusan meminta pertanggung jawaban PSSI, saya pribadi lebih memilih untuk mengkritik pola pikir mereka dan manusia-manusia yang menghuni alam raya bernama, INDONESIA.
Legenda sepak bola Jerman, Franz Beckenbauer, pernah berkata seperti ini: Sepak bola adalah cerminan sebuah bangsa. Pernyataan Beckenbauer itu pun rasanya tepat jika dialamatkan untuk kondisi yang terjadi di dalam negeri ini.
Kejahatan ditandai dengan merosotnya sopan santun dan moral. Di luar sepak bola, tidak sulit mencari contoh masalah tersebut. Toh, sebelum aksi "adu gol bunuh diri" di Sleman, masyarakat Indonesia sempat dipertontonkan lelucon membosankan para anggota DPR di sidang paripurna beberapa waklu lalu.