MANCHESTER, KOMPAS.com - Euforia ribuan suporter Real Madrid di Stadion Old Trafford, meledak saat peluit panjang wasit berbunyi, menandakan akhir laga Madrid melawan tuan rumah Manchester United berakhir 2-1. Skor yang berpihak untuk kemenangan Madrid (agregat 3-2) dan lolos ke perempat final Liga Champions.
Hiruk pikuk menyeruak di sana-sini. The Special One, julukan Jose Mourinho, sekali lagi mampu menyisihkan seniornya, Sir Alex Ferguson.
Sambil memasukan tangan ke kantong jaket abu-abunya, Mourinho berjalan sendiri di sisi kiri lapangan. Sesekali matanya mengarah ke tribun penonton. Dirinya seakan larut dalam kegembiraan bersama para Madridista. Namun, di melihat kesedihan suporter tuan rumah, Mourinho termenung dan hening di sana.
"Klub terbaik telah kalah. Kami tidak layak menang. Tetapi, inilah sepak bola," ujar Mourinho menunjukkan simpatinya kepada MU.
Dalam perhelatan sepak bola di seluruh dunia, sepertinya terdapat hukum tak tertulis ini, "Tim yang bermain lebih baik, belum tentu menang". Selain nasib, faktor lain karena adanya sosok manusia yang jika berdiri di lapangan memiliki kuasa sangat menentukan. Dialah wasit, sang pengadil lapangan. Keputusannya, entah salah atau benar, sering kali mengubah jalannya pertandingan.
Jutaan penduduk Inggris takkan pernah lupa ketika Diego Maradona menceploskan bola ke gawang kiper Peter Shilton dengan tangannya di perempat final Piala Dunia 1986. Meski ribuan kali rekaman video aksi Maradona itu diulang, gol itu tetap sah karena wasit Ali Bin Nasser telah membuat keputusan.
Bobby Robson, pelatih Inggris kala itu, lantas menyebut Maradona sebagai biang kerok dalam lapangan. "Itu tangan penipu, bukan tangan Tuhan," ujar Robson.
Pada akhirnya, hukum tak tertulis itulah yang membuat air mata ratusan juta penduduk Inggris tumpah karena kesempatan mengulang kesuksesan 1966 hilang di depan mata. Sebaliknya, hukum itu membuat kegembiraan warga Argentina meluap-luap.
Kubu Argentina bersuka cita karena sukses meraih gelar juara kedua, sementara The Three Lions merana karena kembali gagal unjuk gigi di kancah dunia. Dan, sekali lagi, hukum itu pun berlaku tanpa ampun bagi publik Inggris ketika Madrid menghadapi Setan Merah di Old Trafford, Selasa atau Rabu (6/3/2013) dini hari WIB.
Sejak peluit pertama dibunyikan wasit, MU tampil gagah perkasa. Rapatnya barisan belakang yang digalang Nemanja Vidic dan kawan-kawan sudah cukup membuat Gonzalo Higuain kewalahan. Belum lagi saat Sergio Ramos melakukan gol bunuh diri pada paruh kedua yang membuat puluhan ribu suporter MU bersuka cita.
Namun, keputusan wasit mengubah cerita, saat Robin van Persie dan kawan-kawan unggul 1-0. Pelanggaran keras yang dilakukan Luis Nani kepada Alvaro Arbeloa pada menit ke-56 memaksa wasit asal Turki, Cuneyt Cakir, langsung mengeluarkan kartu merah. Sejak itu, MU mulai kesulitan dan Madrid mampu mendulang dua gol untuk memetik kemenangan.
Keputusan yang kemudian melahirkan kontroversi. Sebagian menganggap keputusan Cakir sudah benar, terlepas Nani sengaja atau tidak. Sebab, aksinya memang sangat membahayakan. Bahkan, UEFA mendukung keputusan Cakir. Sebagian menganggap keputusan itu berlebihan, terutama publik MU. Artinya, keputusan itu menjadi multitafsir.
Bermain dengan 10 pemain, Ryan Giggs dan kawan-kawan seperti kebingungan dan tak tenang. Permainan mereka jadi bimbang karena komposisi pemain tidak imbang. "Penampilan kami yang bagus di pertandingan telah dirusak oleh satu keputusan," sesal asisten pelatih MU, Mike Phelan.
Menit ke-66, hukuman itu dirasakan MU, ketika liuk gerakan Luka Modric di depan kotak penalti berakhir dengan tendangan melengkung yang membobol gawang David De Gea. Kiper asal Spanyol itu pun seakan tak percaya, gawangnya kebobolan.
MU yang unggul terlebih dahulu, akhirnya kembali kebobolan, ketika Cristiano Ronaldo menyosorkan kakinya saat menerima umpan tarik Higuain, tiga menit berselang, untuk melumat jala gawang De Gea. Madrid pun lolos ke perempat final dengan agregat 3-2.