Jakarta, Kompas
Model penghitungan karbon itu akan berkembang dan lebih rinci sesuai kemajuan ilmu pengetahuan. Diperlukan sistem penghitungan yang mudah diterapkan di lapangan serta diaplikasikan pada jenis spesies, ekosistem, dan wilayah berbeda.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan merangkum sekitar 800 metode penghitungan karbon di Indonesia. Metode dikumpulkan dari berbagai tesis, disertasi, dan penelitian sejumlah institusi dari Sumatera hingga Papua.
Kajiannya dipaparkan dalam buku
Acara dihadiri Deputi I Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Heru Prasetyo, Sekretaris Jenderal Kemhut Hadi Daryanto, Kepala Balitbang Kemenhut Iman Santoso, para pakar perguruan tinggi, serta aktivis LSM. Mereka memuji para penulis (Haruni Krisnawati, Wahyu Catur Adinugroho, dan Rinaldi Imanuddin) yang menghasilkan monografi bagi penghitungan karbon nasional.
Hadi Daryanto mengatakan, model penghitungan biomassa relatif baru bagi Kemenhut yang semula mendasarkan pada penghitungan volume. ”Ini mengubah cara berpikir kita. Saya akan melaporkan ke Menteri (Kehutanan) dan mengajak para direktur jenderal agar ini bisa memperkaya keputusan,” kata Hadi.
Ia mengatakan, tahun 2010, saat menjabat sebagai Dirjen Bina Produksi Kehutanan, ia menerbitkan surat keputusan yang mengatur cara pengukuran karbon. Hal ini akan disempurnakan dengan monografi Balitbang. Menurut dia, pengukuran karbon dari sisi biomassa penting dalam penerbitan pemberian izin dan pelepasan kawasan.
Semisal pada hutan gambut, secara volume memiliki kandungan karbon kecil. Namun, setelah dihitung biomassanya, jumlah karbon menjadi besar. Dengan demikian, izin pelepasan kawasan bisa diperketat.
Heru mengatakan, data dan informasi stok karbon dalam biomassa hutan beserta perubahan secara spasial sangat diperlukan untuk menyusun strategi penurunan emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi hutan. Karena itu, diperlukan Sistem Perhitungan Karbon Nasional yang komprehensif, kredibel, dan dapat diverifikasi.