Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keindahan Itu Bernama "La Furia Roja"

Kompas.com - 03/07/2012, 09:59 WIB

KOMPAS.com - Ratusan juta pasang mata penduduk seluruh penjuru dunia, Minggu (1/7/2012) malam, tertuju ke Stadion Olympic, Kiev, Ukraina. Dalam kemegahan stadion berkapasitas 70.050 penonton itu, dua tim unjuk kekuatan untuk menjadi yang terbaik di ranah Eropa. Peluh keringat dan sikutan tajam lawan diindahkan demi menunjukkan etika sepak bola yang penuh keindahan.

Pada menit ke-90, angka di papan skor raksasa stadion masih tertulis empat bagi Spanyol dan nol untuk Italia. Perasaan cemas dan putus asa campur aduk dengan kegembiraan dan sukacita di bangku-bangku pendukung kedua belah negara. Menit 90+2, wasit asal Portugal, Pedro Proenca, pun membunyikan peluit. Seiring bunyi siulan panjang itu, jelas bahwa keindahan sepak bola itu bernama "La Furia Roja".

Melalui laga final Piala Eropa 2012 tersebut, Spanyol kembali mengukuhkan diri sebagai tim terbaik di Eropa. Tak tanggung-tanggung, tim sekaliber Italia, tim pemilik empat gelar juara Dunia, diganyang empat gol tanpa balas. Xavi Hernandez dan kawan-kawan pun membuktikan kepada dunia, permainan "membosankan" yang kerap dikritik sebelumnya kini harus dihormati setiap lawan-lawannya.

"Mereka (Spanyol) terlalu superior, sehingga penyesalan atas kekalahan ini tidak begitu besar. Ketika bertemu tim dengan kekuatan seperti itu, Anda tentu akan bisa lebih bisa menerima kekalahan ini," ujar Kapten Italia, Gianluigi Buffon, usai pertandingan.

"Tiki-taka"

Tak bisa dipungkiri, salah satu kunci sukses keberhasilan itu adalah strategi "tiki-taka" yang diadopsi oleh Spanyol. Laiknya anak kecil yang tengah bersenang-senang sambil memainkan bola dengan operan-operan akurat, bergerak, lalu berlari lincah ke sana kemari, permainan itu jelas terlihat indah. Sebagian menanggap membosankan, namun tak salah untuk dipraktekan dalam sepak bola.

Salah satu contoh dapat kita lihat yaitu performa Barcelona, tim yang mengusung strategi tersebut selama tiga tahun terakhir. Kecerdasan pelatih, Pep Guardiola, meramu filosofi "Total Football" milik Johan Cruyff, membuat "tiki-taka", menjadi senjata yang sulit dilumpuhkan oleh tim mana pun. "Blaugrana" pun sukses menorehkan tinta emas dalam ranah sepak bola.

Jika ditelisik lebih jauh, justru hanya permainan negatif yang dapat mengimbangi strategi tersebut. Lihat saja, bagaimana Chelsea harus menempatkan hampir seluruh pemainnya di barisan pertahanan, untuk mengimbangi Barcelona pada final Liga Champions musim lalu. Chelsea berhasil juara, namun pecinta bola belum tentu puas dengan taktik "parkir bus" milik mereka.

Pun halnya dengan Italia, yang sebenarnya memiliki kemampuan mengimbangi permainan itu dengan taktik khasnya, "Catenaccio". Namun, pelatih Cesare Prandelli, tak memungkiri bahwa strategi negatif itu, bukan pilihan yang diimpikan jutaan rakyat Italia. Apalagi, strategi serangan "anarkisme" yang tak biasa dilakukan Mario Balotelli dan kawan-kawan terbukti ampuh ketika menghancurkan mimpi Jerman di semifinal.

"Kami tidak takut kepada mereka (Spanyol). Kami akan menyerang karena kami lebih kuat dari saat pertemuan pertama (babak penyisihan Grup C di Gdansk),” ujar Prandelli sebelum pertandingan.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com