Andai tiga tahun lalu PT Liga Indonesia dan semua klub mengikuti instruksi Konfederasi Sepak Bola Asia untuk memenuhi semua persyaratan guna mengikuti kompetisi level satu, andai kontrak hak siar stasiun televisi tak hanya Rp 10 miliar per musim, andai semua klub membenahi diri dengan memperbaiki sarana dan prasarana, pembinaan usia dini, serta memperkuat diri dengan dana memadai, dan sejuta andai lainnya, prestasi tim nasional kita tidak jeblok seperti sekarang ini. Andai pengurus lama PSSI tidak meninggalkan organisasi yang karut-marut, semua persoalan yang muncul belakangan ini tidak akan terjadi.
Itulah potret sepak bola kita. Tepat, kalau rekan saya Budiarto Shambazy mengatakan bahwa semua persoalan berawal dari anggota klub itu sendiri.
Tiga tahun lalu, PT LI dan anggota klub ”bersekongkol” untuk tidak mengindahkan instruksi Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) dalam memverifikasi klub peserta kompetisi level satu. Ketika deadline AFC kepada klub untuk membenahi diri tinggal hitungan hari, semua ”kebakaran jenggot”. Pengurus baru yang berumur tiga bulan didera berbagai problem, dan seolah-olah menjadi bagian dari kesalahan pengurus lama yang mengelola PSSI delapan tahun.
Ketika tim nasional kita kalah, kalah, dan kalah lagi di kualifikasi Pra-Piala Dunia Zona Asia, yang disalahkan pengurus dan pelatih. Uniknya, klub tidak pernah menyorot kinerja pengurus lama PSSI yang tidak memikirkan pembinaan. Kalau saja pembinaan berjalan baik, kita tak perlu pemain depan hasil naturalisasi seperti Cristian Gonzales. Kita juga pasti bisa memiliki lebih banyak pemain sekelas Firman Utina.
Jika klub bisa memprotes PSSI terhadap hak siar sebuah stasiun televisi yang mengucurkan Rp 10 miliar per musim kompetisi, dan memperbaiki saham yang sekitar 10 persen diberikan PT LI selama empat tahun, mereka tak akan memprotes biaya kompetisi. Bahkan, APBD pun tidak dibutuhkan klub sejak empat tahun lalu.
Klub justru berterima kasih kepada PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) yang bisa menggaet sponsor televisi Grup MNC, pemegang tunggal hak siar, dengan biaya sponsor sebesar Rp 100 miliar per musim.
Hak dan kewajiban
Kini muncul Kelompok 10 (bukan 14 klub) atau disingkat ”K-10” yang ingin keluar dari kompetisi yang diputar PT LPIS, dan berniat menggelar kompetisi sendiri. Mereka akan merealisasikan rencana itu jika PSSI dan PT LPIS tidak mengakomodasi keinginan mereka.
Tuntutan ”K-10” adalah peserta liga level satu harus 18 klub, PT LPIS harus memberikan saham 99 persen kepada klub, dan dikucurkan Rp 2 miliar sebagai biaya kompensasi dari pembengkakan jumlah peserta kompetisi dari 18 menjadi 24 tim. Menurut mereka, tuntutan itu sesuai hasil keputusan Kongres Bali 2010. Meski, setelah ditelusuri, tidak ada notulen atau keputusan Kongres Bali 2010 seperti itu.
Rencana menggelar kompetisi tandingan sebaiknya dipikir ulang. Mengapa? Saya khawatir, mereka akan menceburkan diri dalam lubang lumpur yang digali sendiri. Seperti dikatakan Shambazy, biang kerok dari masalah saat ini adalah anggota klub itu juga. Di dalam ”K-10” terdapat sebagian oknum yang justru sama-sama berada dalam kelompok reformasi yang menggulingkan kepengurusan lama. Namun, ”pemain-pemain lama” itu kini kembali mencari keuntungan dengan merongrong pengurus baru.