Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Turbulensi Pasca-Mourinho

Kompas.com - 19/07/2011, 20:57 WIB

KOMPAS.com — Jose Mourinho adalah pelatih yang lekat dengan kontroversi. Namun tak bisa dimungkiri, ia penuh prestasi. Porto, Chelsea, Inter Milan, dan Real Madrid telah merasakan sentuhan midasnya dengan raihan berbagai macam trofi bergengsi. Namun setelah "The Special One" pergi, niscaya tim yang ditinggalkannya akan mengalami turbulensi.

Mourinho tiba di Porto pada Januari 2002 untuk menggantikan tempat Octavio Machado. Selama setengah musim berjalan, ia berhasil mengangkat tim dengan performa mantap melalui 11 kemenangan serta masing-masing dua kali seri dan kalah. Pada akhir musim, Porto dibawanya bertengger di posisi ketiga dan ia berjanji untuk memberi trofi juara kepada fans di musim selanjutnya.

Janji itu benar-benar ditepatinya dengan cara yang luar biasa. Pada awal musim 2002/2003, ia membeli pemain-pemain yang dirasa tepat untuk memperkuat serta menjadi tulang punggung tim. Jorge Costa dipanggil kembali dari masa peminjamannya di Charlton Athletic, Nuno Valente dan Derlei direkrut dari Uniao Leiria, Paulo Ferreira dari Vitoria Setubal serta Maniche dari Benfica. Hasilnya, Mourinho sukses mengantar Porto meraih treble winner dengan merengkuh trofi juara Liga Portugal, Piala Portugal, dan Piala UEFA.

Musim selanjutnya, Mourinho mencoba mengangkat tim ke level lebih tinggi dengan melabuhkan Benny McCarthy dari Celta Vigo yang sukses menjadi tumpuan di lini depan tim untuk beberapa tahun ke depan. Selain itu, pemain internasional Portugal, Sergio Conceicao, juga direkrut untuk membimbing dan membagi pengalamannya selama bermain bagi timnas Portugal dan tim-tim papan atas Italia, seperti Lazio, Parma, dan Inter Milan. Itu belum termasuk beberapa pembelian lainnya, seperti Pedro Mendes dari Vitoria Guimaraes dan Bosingwa dari Boavista.

Pada musim keduanya membesut Porto, Mourinho dan timnya terlihat jauh lebih matang dan terorganisasi. Piala Super Portugal berhasil diraih di awal musim dan trofi Liga Portugal pun sukses mereka pertahankan kembali. Di Liga Champions, mereka membuat kejuatan dengan mengempaskan Manchester United di babak 16 besar. Gol telat Costinha berhasil mengantarkan mereka maju ke babak selanjutnya. Mourinho meluapkan kegembiraannya dengan berlari menyisir pinggir lapangan selayaknya ia yang mencetak gol tersebut. Hal itu pun menjadi awal dari timbulnya perseteruan antara dirinya dan Sir Alex Ferguson.

Selanjutnya, Porto secara berturut-turut menyingkirkan Olympique Lyon dan Deportivo La Coruna untuk berjumpa AS Monaco di babak final. Kemenangan telak dengan skor 3-0 menjadi pembuktian bagi Mourinho dan timnya sebagai raja Eropa baru musim itu. Pengatur serangan Porto, Deco, dinobatkan sebagai UEFA Club Footballer of The Year, UEFA Best Midfielder, dan Man of The Match di babak final Liga Champions 2003/2004. Mourinho sendiri ditasbihkan sebagai Coach of The Year dalam acara UEFA Club Football Awards 2003/2004.

Menyusul sukses yang direngkuh bersama Porto, Mourinho melanjutkan kariernya sebagai pembesut tim kaya baru asal London, Chelsea. Dia mendapat mandat dari taipan kaya asal Rusia, Roman Abramovich, untuk membawa Chelsea menjadi kekuatan sepak bola baru di Inggris dan Eropa. Pada awal kedatangannya, ia mengatakan, "Jika aku ingin berlindung dalam sebuah pekerjaan yang tenang, aku bisa memilih untuk tetap bertahan bersama Porto. Aku bisa menjadi yang kedua, setelah Tuhan, di mata para pendukung, bahkan bila aku tak pernah lagi bisa memenangkan sesuatu (di Porto)."

"Tolong jangan menyebutku arogan, tetapi aku adalah juara Eropa dan aku pikir aku adalah 'The Special One' (Sang Istimewa)," tandas Mourinho.

Pada musim pertamanya, ia sukses meraih dobel dengan menjuarai Piala Liga dan Liga Inggris dengan performa yang meyakinkan. Chelsea dibawanya menjadi pemuncak klasemen akhir dengan unggul 12 poin atas Arsenal di posisi kedua. Dari total 38 pertandingan, Chelsea sukses memenangkan 29 di antaranya, delapan kali seri dan hanya satu kali mencicipi kekalahan. Gelar ini menjadi yang pertama bagi klub dalam 50 tahun sejak terakhir kali menjuarai liga pada 1955.

Pada musim 2005/2006 atau musim keduanya, pelatih bermulut pedas itu berhasil mengalahkan Arsenal di FA Community Shield serta mempertahankan gelar liga, juga dengan keunggulan 12 poin atas runner-up Manchester United. Sayangnya, ia kembali harus menelan pil pahit di Liga Champions. Bila musim sebelumnya Chelsea harus angkat koper karena kalah pada babak semifinal oleh Liverpool, kali ini mereka tersingkir di babak 16 besar oleh Barcelona. Ironinya, dua tim tersebut, Liverpool dan Barcelona, akhirnya sukses mengakhiri kompetisi tertinggi Eropa itu sebagai juara.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com