KOMPAS.com — Hampir semua pelatih tim sepak bola di dunia pasti menginginkan kehadiran Lionel Messi di barisan depan pasukannya. Pengakuan akan kedahsyatan Messi dapat dilihat dari dua gelar pemain terbaik dunia versi FIFA yang didapatnya dalam dua tahun terakhir. Semua sukses itu berhasil ia raih berkat serangkaian penampilan gemilang bersama Barcelona, bukan Argentina.
Ya, Messi bagai memiliki dua sisi karakter yang berbeda dalam dirinya, yaitu Messi-Barcelona dan Messi-Argentina. Messi versi Barcelona hampir selalu berhasil tampil luar biasa setiap kali dimainkan sehingga dapat mengangkat performa tim secara keseluruhan. Salah satu buktinya adalah dengan total 90 gol yang ia cetak hanya dalam dua musim terakhir bermain di lini serang Barcelona.
Kontrasnya, Messi versi Argentina justru acap kali tampil di bawah form sehingga sering memancing ejekan dan siulan dari para pendukungnya sendiri. Entah bagaimana, setiap tusukan, umpan, dan tembakan akurat yang biasa ia tunjukan saat berseragam Barcelona hilang begitu saja saat ia ganti berseragam Albiceleste. Messi versi Argentina terlihat begitu melempem.
Ini ironi karena ia disebut banyak orang sebagai titian legenda hidup Argentina, Diego Maradona. Maradona sendiri pun mengakui hal ini serta sering memberi pujian dan dukungan bagi Messi. Akan tetapi, kita bisa melihat beberapa perbedaan mendasar antara Messi dan Maradona.
Maradona terkenal sebagai pemain yang gemar berpindah klub dan selalu meraih sukses di mana pun ia menjejakkan kakinya. Pada awal kariernya, pemain bertubuh gempal ini sukses menjadi juara liga bersama Boca Juniors. Setelah Piala Dunia 1982, ia pindah ke Barcelona dan berhasil membawa timnya meraih Piala Raja serta Piala Super Spanyol. Cedera patah kaki sempat mengancam kariernya. Namun, ketangguhan fisik dan mental El Diego sukses membawanya kembali ke lapangan.
Pada 1984, Maradona merampungkan kepindahannya ke Napoli. Di sanalah ia sukses meraih puncak kejayaan sebagai pemain sepak bola. Setelah membawa Argentina menjuarai Piala Dunia 1986, ia juga berhasil menjuarai Serie A dua kali bersama Napoli, masing-masing pada 1986/1987 dan 1989/1990. Tidak lupa, gelar Coppa Italia, Piala Super Italia, dan Piala UEFA berhasil ia bawa saat berkarier di Napoli.
Sayangnya, kasus Narkoba menghancurkan kariernya. Setelah menjalani 15 bulan hukuman larangan tampil, ia meninggalkan Napoli ke Sevilla, Newell’s Old Boys, dan kemudian Boca Juniors.
Bila melihat rekam jejak karier Maradona, kita dapat simpulkan bahwa ia selalu sukses beradaptasi dan membawa kejayaan di tim mana pun yang ia singgahi. Ia dapat mengangkat performa tim sendirian ke level tertinggi sehingga dapat meraih banyak trofi juara bergengsi. Dapat dikatakan, setiap tim butuh Maradona untuk mencapai potensi maksimalnya dalam permainan sepak bola.
Berbeda halnya dengan Messi, ia hanya bermain di satu klub saja sepanjang karier profesionalnya, yaitu Barcelona. Sejak kecil, ia direkrut Barca dengan imbalan biaya pengobatan penyakit cacat hormon yang dulu dideritanya. Ia tumbuh dan berkembang di La Masia, pusat pelatihan pemain muda didikan Barca. Di sanalah ia mengasah bakat istimewanya bersama sekumpulan pemain muda dengan talenta yang tidak kalah hebatnya, seperti Cesc Fabregas, Gerard Pique, dan Pedro Rodriguez.
Kesempatan memiliki banyak pemain muda potensial dalam satu generasi menjadi keuntungan tersendiri bagi Barcelona. Hal ini oleh diakui langsung oleh legenda Perancis, Zinedine Zidane, yang mengatakan, "Barcelona beruntung punya generasi emas yang terdiri dari tujuh sampai delapan pemain hasil didikan akademi pemain muda. Tak banyak tim dengan generasi luar biasa seperti yang dimiliki Barcelona."