Kebijaksanaan tidaklah diukur dari panjangnya usia....
Anton Sumer tercenung di depan televisi. Pemberitaan tentang wafatnya mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid menyita seluruh perhatiannya. ”Ai, aduh. Kami, orang Papua, layak bersedih. Beliau bapak kami orang Papua. Beliau pula yang mengembalikan lagi nama Papua,” kata Anton sambil memegang kepalanya.
Dulu, semasa Orde Baru, tabu jika orang Papua menyebut diri mereka sebagai orang Papua. Namun, oleh Gus Dur tembok-tembok ketakutan itu diruntuhkan. Dulu Papua disebut dengan Irian, demikian juga dengan penduduknya, orang Irian.
Dulu, meskipun secara politis mereka segan menyebut diri mereka dengan Papua karena takut diidentikkan dengan Organisasi Papua Merdeka, jauh di dalam hati mereka adalah orang Papua. ”Karena Gus Dur, kami tidak takut-takut lagi menyebut diri kami orang Papua, dan kami bangga dengan itu,” kata Yehezkiel Belaw, seorang pemuda asli Paniai.
Gus Dur pula yang pada 2000 sebagai Presiden mengizinkan masyarakat Papua menggelar kongres. Bahkan, memberi bantuan dana untuk menggelar Kongres Rakyat Papua II itu. Izin yang diberikan itu tidak saja amat berharga. Bagi masyarakat Papua, ruang demokrasi itu berdampak dahsyat, terutama terkait dengan identitas diri mereka.
Dalam pertemuan yang dihadiri lebih-kurang 5.000 peserta dari semua pelosok Papua, mereka dengan terbuka membicarakan lagi perlunya menuntaskan distorsi sejarah Papua. Mereka juga membahas pentingnya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua serta pengabaian hak-hak dasar, terutama dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya rakyat Papua.
Mereka melihat bahwa dialog dan negosiasi adalah langkah penting untuk menyelesaikan tiga masalah tadi. Dalam kongres yang digelar di Jayapura itu juga ditetapkan berdirinya Presidium Dewan Papua yang diketuai oleh Theys Hiyo Eluay.
Secara politis, keinginan Gus Dur menjelang Tahun Baru 2001 sebagaimana diungkapkannya melalui kata-kata, ”Saya Ingin ke Papua untuk melihat matahari terbit dari timur” berdampak luar biasa bagi rakyat Papua.